Episode 1
malam itu aku tidur biasa
biasa saja, seperti malam malam yang lalu, tak nyenyak tak juga terusik.
aku sudah bangun ketika kau
sedang mengaji pagi pagi disurau. namun aku tertidur lagi, terlalu pagi untukku
menyambut aktivitas. itulah kamu, yang sangat menghargai hidup dan aku yang
terlalu menyepelekan hidup. "hidup itu harus dinikmati," kataku.
"tapi apakah dengan
kamu seperti itu, hidupmu sudah nikmat?" , katamu. "kamu selalu
datang padaku tak lepas dari masalah masalah yang menjeratmu" sambungmu
lagi.
"ya,itulah pelangi
hidup. tanpa masalah,hidupku tak akan berwarna. kau juga merasakannya kan?
" kataku membela diri.
sejenak ia terdiam,
melanjutkan makannya yang sempat terhenti oleh kedatanganku.
Episode 2
Aku pergi tanpa pamit meninggalkanmu
yang lebih tertarik pada sepiring nasi rames yang tadi dibeli di ujung gang. Nasi
termurah yang ada dikota ini. Walaupun tidak terlalu enak, tapi cukup mengenakkan
kantong.
Aku heran padamu, kau
mempunyai pekerjaan mapan dan gaji yang lebih dari cukup. Tapi lihatlah hidupmu,
hanya tinggal dikamar sempit dan itupun hasil menyewa. Soal makan, yang kutahu
kau selalu membeli rames murah diujung gang. Jarang kulihat kau makan makanan
mahal, sedikit mahalpun tidak. Apalagi soal jodoh, tak pernah kulihat kau
menggandeng seorang perempuanpun. Setiap berangkat dan pulang bekerja, kau
lebih memilih menggunakan angkutan. Berdiri panas-panasan dipinggir jalan
berdebu dan sesak oleh orang-orang yang tidak memiliki uang lebih untuk menyewa
taksi.
Pernah suatu ketika, aku
menyarankanmu untuk membeli mobil atau sekedar sepeda motor. Namun kau hanya
berkata, “kantongku penuh recehan, lebih cocok untuk membayar angkutan daripada
membeli motor apalagi mobil.”
“kau jangan menyusahkan diri
sendiri. Aku tahu, gajimu tiga bulanpun sudah lebih dari cukup untuk membeli
sebuah mobil”, kataku mendesak.
“aku tidak hanya berpikir
jangka tiga bulan. Tapi bulan-bulan selanjutnya”, katamu datar. Tanpa ekspresi.
“ maksudmu?”
“ sudah dhuhur”, kau
langsung beranjak meninggalkanku.
Episode 3
Hari senin, hari yang paling
kubenci dari keenam hari lainnya. Kenapa cepat sekali hari senin? Kenapa harus
ada senin? Malas sekali rasanya menyambut hari senin. Padahal baru kemarin saja
aku bersantai-santai, bangun siang, jalan-jalan. Sekarang sudah harus
menghadapi tugas ini itu yang membuat otakku keliling dunia dan jantungku
berlari kesana kemari.
“ lagi-lagi kau kesiangan.”
sapaan yang pertama kali kudapat darimu.
“bukan kesiangan. Aku hanya
malas saja bangun.”
“ apa susahnya bangun pagi?”
“susah… susah sekali. Kau
bisa berbicara dengan matahari?” tanyaku polos.
“mengapa?” kau menoleh.
“tolong sampaikan padanya.
Jangan cepat muncul, aku ingin lebih lama tidur”, kataku menguap.
Kau berlalu tanpa memberikan
komentar apapun padaku.Aku berlari-lari kecil, berusaha mensejajari langkahmu.
“kalau aku bisa menentukan
garis hidupku. Aku akan memilih menjadi pengusaha percetakan kalender”, aku
berusaha membuatmu tertarik.
“mengapa?” kau bertanya
datar. Malah sepertinya itu bukan suatu pertanyaan.
“ nantinya, disetiap
kalender cetakanku, tak akan kucantumkan yang namanya hari senin. Huh..hari
yang menyebalkan” dengusku.
“kamu tahu apa yang terjadi
jika hari senin tidak ada?”
“apa?”
“kiamat”
Episode 4
Aku mendengus, kubiarkan kau
melangkah didepan yang dengan cepat meninggalkanku. Mataku terus mengawasimu
sampai kau menghilang ditikungan jalan.
“dasar orang aneh.” Batinku
dalam hati.
Aku berbalik arah.
“ hei..”
Seketika aku menoleh
kebelakang. Seorang teman berlari-lari kecil menghampiriku.
“darimana kau?” Tanyaku
heran.
“ lari pagi lah, memangnya
kau… pemalas sekali, cuci muka saja belum” sahutnya.
“ enak saja kau bilang, aku
sudah mandi”
“ eh, kamu tahu tidak si
Akbar anak kyai itu?” dia mengalihkan pembicaraan.
“ ada apa dengannya?”, aku
mulai tertarik. Akbar adalah anak kyai tempat kau mengaji setiap pagi dan malam
hari.
“ semalam aku melihatnya
berkumpul dengan tukang judi dipinggir jalan sana,” dia menunjuk lurus jalan
setapak.
“ah mana mungkin?” , aku tak
percaya. Karena yang kutahu, setiap harinya kau dan Akbar selalu disurau. Entah
mengaji atau apalah, yang penting disurau.
“ terserah saja mau percaya
atau tidak.” Dia berlalu.
Episode 5
Menjelang sore, aku sengaja
duduk-duduk didepan kontrakanmu. Duduk berdiri tiduran, duduk berdiri tiduran,
sampai lelah aku menunggumu. Tak ada tanda-tanda kau akan pulang. Akhirnya
kuputuskan untuk menemuimu besok. Aku jungkir balik diatas kasur, teringat
kata-kata temanku tadi pagi tentang si Akbar. Jika Akbar seperti itu, apakah
kau juga seperti itu? Tukang mengaji, rajin beribadah, disiplin, pekerja keras
tapi juga penjudi? Jangan-jangan kau tak mampu membeli mobil, hidup dikontrakan
sempit, selalu makan rames murah, itu
juga karena uangmu habis untuk berjudi?
Paginya, tak sebiasa ini aku
beranjak lebih cepat. Cepat-cepat mandi, dan langsung menemuimu. Kuketuk pintu
kontrakanmu.
“rupanya kamu.” Kau muncul
dari balik pintu.
“eh, mau kemana kau?
Pagi-pagi begini sudah rapi”, aku terheran melihatmu sudah rapi. Padahal
biasanya kau baru pulang dari surau.
“berangkat kerja”
“pagi-pagi buta begini?”
tanyaku.
“banyak urusan yang harus
kuselesaikan”, sahutmu sambil sibuk merapikan baju.
“oiya, kemarin malam temanku
melihat Akbar berkumpul dengan para penjudi”, aku teringat.
“temanmu tak melihat aku
juga?” kau bertanya.
“apa? Berarti kau juga
disana?” aku terkejut.
“iya”
“ kau ikut berjudi?” tanyaku.
“ bukan urusanmu. Sudahlah,
aku harus berangkat”, dia keluar dan juga menyuruhku keluar.
“hei, ada apa dengan
wajahmu?”, aku baru sadar melihat wajahmu yang penuh memar-memar.
“tak apa”,
kau melambaikan tangan sambil berlalu.
Episode 6
Diam-diam
aku membuntutimu. Aku merasa sangat penasaran dengan apa yang akan kau lakukan
pagi-pagi begini. Disimpang jalan, kulihat sudah ada seseorang yang menunggumu,
kau sempat berbincang sejenak dengannya. Orang itu memberikan kantong plastik
hitam besar padamu. Lalu kau melanjutkan perjalanan lagi, sedangkan orang itu
berjalan berlawanan denganmu. Aku bersembunyi agar tidak berpapasan dengan
orang itu. Ternyata orang tersebut adalah Akbar. Apalagi yang akan kau lakukkan
dengannya? Aku semakin penasaran.
Kau
berjalan kearah kantormu, namun ditengah jalan kau berhenti. Kau berbelok,
melewati lahan kosong dan rumput-rumput liar. Aku masih belum menyerah
mengikutimu walaupun disana-sini berterbangan nyamuk-nyamuk yang tidak terima
karena daerah kekuasaannya kujajaki.
Episode 7
Hampir satu
jam aku membuntutimu, kini hari sudah mulai terang. Semakin susah untukku
mengikuti tanpa terlihat olehmu. Kuputuskan untuk lebih menjauh agar kau tidak
curiga.
Akhirnya
kau berhenti juga. Tak disangka, kau berhenti di tumpukan sampah yang menjulang
tinggi. Ya… tempat pembuangan akhir sampah yang ada dikotaku. Disana penuh
sapi, kambing, pemulung dan anak-anak gembel yang bermain-main dengan sampah. Aku
menyeringai jijik. Bisa-bisanya mereka menggunakan tempat pembuangan sampah
seperti itu menjadi arena bermain.
Kuamati
mereka satu persatu. Ada yang duduk termenung, ada yang lempar-lemparan bantal
bekas sambil cekikikan memperlihatkan gigi kuning mereka yang pasti jarang
dibersihkan. Ada pula yang mencari barang-barang yang masih bernilai dan
berharga, tetapi bagiku, seberharganya barang yang mereka dapat, itu tetaplah
sampah.
Aku semakin
menyeringai jijik. Bau sampah sangat menyengat, padahal aku berjarak lumayan
jauh dari sana. Kugunakan ujung bajuku untuk menutupi hidung. Aku merasa mual
melihat mereka diantara tumpukan sampah. Sedekil-dekilnya diriku, ternyata
masih ada yang jauh lebih dekil.
Episode 8
Pandanganku
kembali tertuju padamu, tak terlihat kau merasa terganggu oleh bau sampah itu. Kau
tampak berjalan santai dan penuh senyum, mimik wajahmu malah tampak merona
bahagia diantara luka lebam yang kini tampak jelas terpapar sorot matahari
pagi.
Salah satu
dari mereka menyadari kehadiranmu dan langsung berteriak memanggil namamu. Yang
lain menyusul dan langsung berlari menghampirimu, mereka tertawa bahagia dan
kau juga semakin tampak bahagia.
Kuliht kau
meraih anak perempuan yang terkecil disana, langsung kau gendong dan kau ajak
bercanda. Bungkusan hitam besar yang tadi kau bawa itu, kau serahkan pada salah
satu anak yang ada disana, mereka saling berebut.
Ternyata
itu bungkusan makanan, dan langsung mereka makan tanpa basa-basi. Aku masih
terdiam menonton dari kejauhan. Tersenyum kagum padamu dan menyeringai jijik
melihat mereka yang menikmati makanannya ditengah tumpukan sampah.
Episode 9
Kau
mengambil satu bungkus makanan yang ada dikantong plastik itu, membukanya, dan
ikut makan bersama mereka. Ya ampun, aku tak tahan melihatnya. Masih wajar
mereka makan ditempat pembuangan sampah seperti itu, karena memang mereka hidup
disana. Tapi lihatlah kau, bisakah kau menunda makanmu nanti ditempat kerjamu? Atau
puasa saja sekalian.
Kutahan
rasa jijikku yang menjadi rasa mual. Aku semakin penasaran dengan apa saja yang
kau lakukkan selain mengaji dan bekerja.
Kau melihat
jam tangan dilengan kirimu dan bergegas menyelesaikan makan. Lalu kau berdiri,
kukira ini akan segera berakhir dan kau lekas meninggalkan tempat itu. Namun
kau merogoh kantong celanamu, mengeluarkan dompet, membukanya dan membagikan
mereka satu-persatu uang kertas dari dalam dompetmu.
Mereka
berkerumun seperti anak-anak kucing kelaparan yang melihat induknya siap
menyusui. Setelah mendapatkan uang yang dibagikanmu, mereka berhamburan pergi
sambil mengibarkan uang itu. Entah kemana mereka berlari, mungkin kembali
kerumah mereka masing-masing atau menjajankannya diwarung.
Kau kembali
melihat jam tangan dilengan kirimu dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Setelah
merasa aman, aku keluar dari tempat persembunyianku. Bergeges pula meninggalkan
tempat kumuh itu. Mungkin pagi ini aku tak akan sarapan, mungkin siangnya juga,
atau mungkin seharian ini aku tak akan makan.
Sekarang
aku tahu metode baru mengurangi napsu makan, yaitu dengan melihat orang makan
ditempat pembuangan sampah seperti kau.
Episode 10
Aku menyusuri tempat
yang tadi kulewati lagi. Nyamuk-nyamuk yang tadi menggangguku sudah tak lagi
kuhiraukan. Aku ingin cepat pulang dan langsung mandi lagi agar bau sampah itu
cepat hilang. Puh… bau itu masih saja menempel di hidungku. Mau-maunya kau
berkeliaran disana.
Malamnya aku tak
melihat kau pulang, tak terdengar pula suaramu maupun suara dari Akbar yang
mengaji lewat pengeras suara disurau. Asing sekali rasanya telingaku jika tidak
mendengarkan kau mengaji seperti malam ini. Tapi
bukan berarti aku suka mendengarkan orang mengaji, hanya asing saja jika
malam-malam begini tidak ada yang memberisikiku. Kota rasanya sepi, hanya
terdengar suara deru motor dan mobil berseliweran di jalan gang yang sempit.
Paginya,
sepagi hari kemarin kuketuk pintu kontrakanmu. Berkali-kali, berulang-ulang
namun tak ada sahutan. Aku mencoba bersabar, duduk-duduk santai saja diteras
kontrakanmu. Sampai siang, tak ada tanda-tanda kau ada di dalam. Kutarik
kesimpulan, kau tak pulang hmm….
Malamnya kucoba lagi, masih sama. Pagi lagi, kucoba
lagi menemuimu, masih sama. Hingga pagi pagi berikutnya. Tak ada, tak nampak.
Kau menghilang, meninggalkan banyak rasa penasaran dibenakku.
Episode 11
Sampai seminggu dan
berlalu hingga sebulan. Tak ada tanda kau kembali ke kontrakan sempitmu yang
pengap itu. “mungkin kau sudah punya rumah yang besar dan tak lagi tinggal dikontrakan
sempit itu.” pikirku.
Akhir-akhir ini, baru
kurasakan sepi dan rasanya kehilangan. Kehilangan tetangga yang sering
menunjukkan kejelekanku agar aku sadar, tapi yah namanya orang bebal, susah
bagiku untuk berubah. Kehilangan pula nasehat-nasehatnya yang lebih sering
membuatku sebal karena kata-katanya yang jujur namun menusuk. Atau tak hanya
kehilangan sosok tetangga? Kurasa perasaan ini lebih dalam dari itu. Entahlah,
nyatanya kau sudah pergi. Masihkan ada kesempatan untukku berjumpa kau lagi?
Episode 12
Hingga suatu malam,
saat aku tiduran ditemani suara Akbar mengaji disurau yang sering kubayangkan
menjadi suaramu. Aku baru tersadar, bodohnya aku, kenapa tidak kutanyakan saja
pada Akbar? Pastinya Akbar tahu tentangmu.
Aku bergegas beranjak,
tak lupa kukenakan mukena agar lebih meyakinkan. Lalu berjalan menuju surau dan
duduk-duduk diteras surau sambil menunggu Akbar selesai mengaji. Selesai Akbar
mengaji, tak kusia-siakan kesempatan ini.
Aku menyapanya dengan
muka yang manis semanis-manisnya. Akbar sangat
santun dan ramah. Langsung kuperkenalkan bahwa aku temanmu,dan dia mengerti apa
yang ingin kutanyakan tentangmu.
“saya
tidak tahu dia pindah kemana mbak. Dia hanya berpesan untuk terus melanjutkan
apa yang sudah kami rencanakan.”katanya diakhiri tersenyum.
Aku
sempat kecewa, dan terus mendesaknya untuk mengatakan dimana kau berada. Tapi
tetap saja, jawabanya sama. “tidak tahu”
“oiya,
dia sempat menceritakan tentang tetangganya yang menyebalkan. Dan itu ternyata
mbak ya?” dia tersenyum lebar. Aku melotot.
Episode 13
“kau mau kemana bar?”, tanyaku
melihat Akbar beranjak.
“Saya mau melanjutkan
rencana kami”, katanya menjelaskan rencanamu dengan Akbar.
“rencana apa?
Malam-malam begini.”
“mbak tahu kan di
pinggir jalan sana banyak orang berjudi?”tanyanya.
“oh
jadi rencana kalian itu menang judi?”
“bukan
mbak, uang yang didapat untuk berjudi orang-orang itu dari merampas para anak
gelandangan dan anak miskin yang tinggal disekitar TPA kota kita ini. Kasihan
sekali anak-anak itu selalu diperas”, jelasnya.
“jadi
waktu itu kalian ada disana bukan untuk berjudi?”, tanyaku kagum lalu teringat
saat aku membuntutimu
ke TPA itu.
“bukan
mbak, waktu itu kami berusaha menasehati mereka. Tetapi mereka malah mengeroyok
kami”, dia tersenyum padahal itu cerita miris.
Aku
melongo teringat luka lebammu waktu itu.
“aku
ikut”, kataku tegas.
“jangan
mbak, terlalu berbahaya”, dia menolak dengan sopan. “lebih baik sekarang mbak
saya antar pulang. Sekalian arah jalan ketempat itu kan sama”.
Aku
kesal karena tidak diijinkan,tetapi benar juga kata Akbar. Terlalu berbahaya.
“oiya mbak, mbak terlihat cantik saat memakai
mukena seperti ini. Apalagi jika untuk benar-benar sholat.” Akbar tersenyum
lagi, entah itu suatu pujian atau sindiran.
Episode 14
Sejak malam itu aku
semakin penasaran tentangmu. Walaupun aku tidak mendapatkan informasi dimana
keberadaanmu, namun aku ingin tahu apa saja yang tidak kutahu tentang dirimu.
Aku semakin dekat dengan Akbar, dia mengajariku mengaji. Dan rajin mengajakku
berkunjung ketempat pembuangan sampah untuk menggantikanmu mengunjungi mereka.
Awalnya aku menolak diajak ketempat menjijikan itu yang membuatku tidak nafsu
makan selama seminggu. Selama seminggu itu aku hanya makan sesuap-sesuap saja karena masih merasa mual
membayangkanmu sewaktu makan disana.
“ayolah
mbak, kalau tidak kita, siapa lagi yang akan memperhatikan mereka?” kata Akbar
waktu itu. Akhirnya aku mau sambil mengenakan penutup hidung agar tidak terlalu
mual memcium bau busuk gunungan sampah.
“mbak
tahu tidak, setiap bulan dia selalu mentransferkan uang padaku untuk dibagikan
kepada anak-anak itu”, Akbar membuka obrolan saat kami berada di TPA
memperhatikan anak-anak itu bermain.
“yang
benar saja? Tapi pernahkah dia memberi tahu kabarnya kepadamu?” tanyaku
tertarik.
“tidak mbak. Mungkin dia baik-baik saja, buktinya
dia bisa memberikan rezeki untuk anak-anak ini.”
Aku
terdian, benar juga kata Akbar. Semoga kau memang baik-baik saja disana.
Waktu berlalu, semakin rajin aku berkunjung kesana,
bau sampah sudah tak mempan lagi dihidungku. Aku sudah terbiasa dengan bau
seperti itu sekarang. Semakin rajin pula aku mengaji disurau. Kini aku seperti
kau, menjadi anak sampah dan anak surau.
Episode 15
Kadang aku mengunjungi
anak-anak di TPA itu sendirian jika Akbar tidak dapat kesana. Aku sudah akrab
dengan mereka, biasanya tiga kali dalam seminggu aku mengumpulkan mereka untuk kuajari cara
membaca dan berhitung bersama-sama.
Satu tahun, dua tahun
dan bertahun-tahun berlalu sangat cepat dengan kegiatan mengasyikanku ini,
namun sehari berlangsung sangat lama saat aku mengingatmu. Walaupun sudah ada
Akbar yang menemaniku, aku tetap merasakan rindu yang berlarut-larut jika teringat kau. Namun aku harus realistis, disini
yang ada Akbar, bukan kau.
Pagi hari seperti pagi-pagi biasanya, aku bersama
Akbar berkunjung kesana membawa sekantong besar berisi makanan untuk anak-anak
itu. Aku bersama Akbar duduk mengamati mereka yang sangat lahap memakan makanan
yang kami bawa.
“Ehem
….” Seseorang berdehem dibelakang kami. Sejurus kami langsung menoleh.
Kulihat sosok yang selama ini menghilang, kau… ya
kau tersenyum lebar menatap kami.
Episode 16
Akbar tampak sumringah
melihat kau, seperti melihat saudaranya selamat dari medan perang. Kalian
langsung berpelukan sambil tertawa riang bersama-sama.
“hei..” kau tersenyum
menyapaku. Pertama kali ini aku melihatmu ramah kepadaku.
“hei juga” aku membalas
sapaanmu malu-malu.
“sudah terbiasa? Tidak
jijik lagi kan?”bartahun-tahun menghilang, kini kau sangat berubah. Kau menjadi
lebih ramah.
“tidak.
Ternyata sangat menyenangkan.” Aku tersenyum lebar.
Kami
bertiga meninggalkan tempat itu bersama-sama. Aku lebih banyak diam
mendengarkan kalian bercakap.
Malam
hari aku pergi ke surau lagi, disana kau bersama Akbar sedang duduk bersama.
Akbar mengajakku untuk bergabung. Dengan senang hati aku mengiyakan.
Pulang
dari surau kau menawarkan diri untuk mengantarku. Aku melirik ke arah Akbar,
Akbar membolehkan, karena biasanya Akbar yang mengantarkanku.
“kau
banyak berubah yah, lebih anggun saja.” Kau mulai membuka percakapan.
“kau
juga, lebih ramah.” Mukaku memerah, untung jalan pulang tidak terlalu terang,
sedikit menyembunyikan rasa maluku.
“
kamu tahu, hidupku selalu kesepian.”
“salah
sendiri, sudah tua begitu tak kunjung menikah. Punya pacarpun tidak.”
“ini
yang membuatku kesepian” kau meraih tanganku. “kamu… bertahun-tahun tak ada
kicauanmu yang mengganggu, aku serasa tuli.”
Aku
bingung menaggapinya, “lalu kenapa kau pergi?”
“ada
pekerjaan dari perusahaan yang memaksaku meninggalkan tempat ini.” Kau diam,
aku diam. “aku mencintaimu”
Episode 17
Kami saling menatap,
perlahan-lahan kau mendekatiku. Mencium bibirku dengan lembut, aku sedikit
membalasnya, namun aku tersadar, dan segera melepas ciumanmu.
“aku mencintaimu’’ kau
mengulangnya lagi.
“sejak kapan?”
“sejak dulu. Aku lebih
memilih tinggal dikontrakan sempit itu karena itu tempat terdekat dari tempatmu.
Dari jendela, aku bisa mengamatimu. Mukamu yang berantakan saat bangun tidur,
keluhanmu yang selalu menyalahkan dunia dan ocehanmu saat mengomentariku”
“aku…
aku..” aku terdiam, tak kulanjutkan kata-kataku.
“kau
itu lugu, kau itu apa adanya. Itu yang membuatku tertarik. Tetapi aku tak
terlalu yakin kau juga merasakan hal yang sama sepertiku” kau terdiam,
tertunduk.
“kau
salah, aku juga merasakannya.”kataku melemah.
“jadi?...”
“tidaakkk”, aku bisa melihat matamu yang berbinar
lalu meredup walaupun diremangnya jalan.
“mengapa?”kau
kecewa.
“kau
terlalu lama pergi, aku tak yakin kau akan kembali lagi. Apalagi kau juga tidak
memberitahuku tentang perasaanmu.”
“tetapi
sekarang kau sudah tahu.” Sangkalmu.
“itu
kesalahanmu, kau baru memberitahuku sekarang. Sedangkan yang kubutuhkan itu
sejak dulu.” Jelasku.
“lalu?”
kau bertanya sangat pelan.
Episode 18
“aku putus asa
menunggumu”, aku diam sejenak. Kuremas jari-jariku lalu kuulurkan kepadamu.
Kuperlihatkan cincin yang melingkar dijari manisku. “aku sudah bertunangan
dengan Akbar”
Kau tampak kaget, namun
kau mencoba menyembunyikannya. Kau tersenyum,
“selamat ya. Pilihanmu tidak salah. Paling tidak aku tak akan khawatir lagi
karenamu. Akbar laki-laki
yang baik. Dia pasti bisa menjagamu.”
Kami saling menatap,
menutupi luka kerinduan yang berujung kesia-siaan. Setengah perjalanan kami lanjutkan dengan diam dan saling
berbicara dengan diri sendiri.
Sejak
malam itu, kau tak pernah lagi muncul. Seperti dulu, tanpa penjelasan. Akbar mencarimu
dan bertanya padaku, aku hanya bilang tidak tahu.
Aku
dan kau, kembali berjalan sendiri-sendiri. Aku bersama anak gelandangan disini,
juga bersama Akbar yang selalu mendampingiku. Dan KAU? Apa yang kau lakukkan
disitu? Apa yang kau kerjakan disitu? Sudah menemukan jodohkah kau disitu?
Kuharap iya…
#selesai#