Dapatkan widget animasi ini !

Friday, December 26, 2014

Harap


 
jika dapat ku rengkuh dirimu
takkan kurela kau pergi sedetikpun dari sisiku
meski kau berkata hanya untukku
tak sudi ku membiarkamu pergi tanpa nyawaku

kubelai suaramu, tanpa rasa
ku ucap rinduku, akankah kau mendengar?
hatiku berpeluh
berusaha mengejar cintamu, bayangmu ...

kukecup mesra bayangmu
hanya terasa impian, mimpi

semoga kau tahu
aku tak rela kau mengenal hati lain


Thursday, December 25, 2014

curahan malam

kamu tahu
semalam ini aku masih merindukanmu

sebentar-sebentar aku melirik ponsel
berharap ada nama khasmu muncul

tetapi sampai lelah aku menanti
ponselku masih saja membisu mewakili kebisuanmu

sedang apa kau?
apakah senja begitu mudah mengusir memorymu tentang diriku?

kau dan kehampaan

Episode 1
malam itu aku tidur biasa biasa saja, seperti malam malam yang lalu, tak nyenyak tak juga terusik.
aku sudah bangun ketika kau sedang mengaji pagi pagi disurau. namun aku tertidur lagi, terlalu pagi untukku menyambut aktivitas. itulah kamu, yang sangat menghargai hidup dan aku yang terlalu menyepelekan hidup. "hidup itu harus dinikmati," kataku.
"tapi apakah dengan kamu seperti itu, hidupmu sudah nikmat?" , katamu. "kamu selalu datang padaku tak lepas dari masalah masalah yang menjeratmu" sambungmu lagi.
"ya,itulah pelangi hidup. tanpa masalah,hidupku tak akan berwarna. kau juga merasakannya kan? " kataku membela diri.
sejenak ia terdiam, melanjutkan makannya yang sempat terhenti oleh kedatanganku.

Episode 2
Aku pergi tanpa pamit meninggalkanmu yang lebih tertarik pada sepiring nasi rames yang tadi dibeli di ujung gang. Nasi termurah yang ada dikota ini. Walaupun tidak terlalu enak, tapi cukup mengenakkan kantong.
Aku heran padamu, kau mempunyai pekerjaan mapan dan gaji yang lebih dari cukup. Tapi lihatlah hidupmu, hanya tinggal dikamar sempit dan itupun hasil menyewa. Soal makan, yang kutahu kau selalu membeli rames murah diujung gang. Jarang kulihat kau makan makanan mahal, sedikit mahalpun tidak. Apalagi soal jodoh, tak pernah kulihat kau menggandeng seorang perempuanpun. Setiap berangkat dan pulang bekerja, kau lebih memilih menggunakan angkutan. Berdiri panas-panasan dipinggir jalan berdebu dan sesak oleh orang-orang yang tidak memiliki uang lebih untuk menyewa taksi.
Pernah suatu ketika, aku menyarankanmu untuk membeli mobil atau sekedar sepeda motor. Namun kau hanya berkata, “kantongku penuh recehan, lebih cocok untuk membayar angkutan daripada membeli motor apalagi mobil.”
“kau jangan menyusahkan diri sendiri. Aku tahu, gajimu tiga bulanpun sudah lebih dari cukup untuk membeli sebuah mobil”, kataku mendesak.
“aku tidak hanya berpikir jangka tiga bulan. Tapi bulan-bulan selanjutnya”, katamu datar. Tanpa ekspresi.
“ maksudmu?”
“ sudah dhuhur”, kau langsung beranjak meninggalkanku.

Episode 3
Hari senin, hari yang paling kubenci dari keenam hari lainnya. Kenapa cepat sekali hari senin? Kenapa harus ada senin? Malas sekali rasanya menyambut hari senin. Padahal baru kemarin saja aku bersantai-santai, bangun siang, jalan-jalan. Sekarang sudah harus menghadapi tugas ini itu yang membuat otakku keliling dunia dan jantungku berlari kesana kemari.
“ lagi-lagi kau kesiangan.” sapaan yang pertama kali kudapat darimu.
“bukan kesiangan. Aku hanya malas saja bangun.”
“ apa susahnya bangun pagi?”
“susah… susah sekali. Kau bisa berbicara dengan matahari?” tanyaku polos.
“mengapa?” kau menoleh.
“tolong sampaikan padanya. Jangan cepat muncul, aku ingin lebih lama tidur”, kataku menguap.
Kau berlalu tanpa memberikan komentar apapun padaku.Aku berlari-lari kecil, berusaha mensejajari langkahmu.
“kalau aku bisa menentukan garis hidupku. Aku akan memilih menjadi pengusaha percetakan kalender”, aku berusaha membuatmu tertarik.
“mengapa?” kau bertanya datar. Malah sepertinya itu bukan suatu pertanyaan.
“ nantinya, disetiap kalender cetakanku, tak akan kucantumkan yang namanya hari senin. Huh..hari yang menyebalkan” dengusku.
“kamu tahu apa yang terjadi jika hari senin tidak ada?”
“apa?”
“kiamat”

Episode 4
Aku mendengus, kubiarkan kau melangkah didepan yang dengan cepat meninggalkanku. Mataku terus mengawasimu sampai kau menghilang ditikungan jalan.
“dasar orang aneh.” Batinku dalam hati.
Aku berbalik arah.
“ hei..”
Seketika aku menoleh kebelakang. Seorang teman berlari-lari kecil menghampiriku.
“darimana kau?” Tanyaku heran.
“ lari pagi lah, memangnya kau… pemalas sekali, cuci muka saja belum” sahutnya.
“ enak saja kau bilang, aku sudah mandi”
“ eh, kamu tahu tidak si Akbar anak kyai itu?” dia mengalihkan pembicaraan.
“ ada apa dengannya?”, aku mulai tertarik. Akbar adalah anak kyai tempat kau mengaji setiap pagi dan malam hari.
“ semalam aku melihatnya berkumpul dengan tukang judi dipinggir jalan sana,” dia menunjuk lurus jalan setapak.
“ah mana mungkin?” , aku tak percaya. Karena yang kutahu, setiap harinya kau dan Akbar selalu disurau. Entah mengaji atau apalah, yang penting disurau.
“ terserah saja mau percaya atau tidak.” Dia berlalu.

Episode 5
Menjelang sore, aku sengaja duduk-duduk didepan kontrakanmu. Duduk berdiri tiduran, duduk berdiri tiduran, sampai lelah aku menunggumu. Tak ada tanda-tanda kau akan pulang. Akhirnya kuputuskan untuk menemuimu besok. Aku jungkir balik diatas kasur, teringat kata-kata temanku tadi pagi tentang si Akbar. Jika Akbar seperti itu, apakah kau juga seperti itu? Tukang mengaji, rajin beribadah, disiplin, pekerja keras tapi juga penjudi? Jangan-jangan kau tak mampu membeli mobil, hidup dikontrakan sempit, selalu makan rames murah, itu  juga karena uangmu habis untuk berjudi?
Paginya, tak sebiasa ini aku beranjak lebih cepat. Cepat-cepat mandi, dan langsung menemuimu. Kuketuk pintu kontrakanmu.
“rupanya kamu.” Kau muncul dari balik pintu.
“eh, mau kemana kau? Pagi-pagi begini sudah rapi”, aku terheran melihatmu sudah rapi. Padahal biasanya kau baru pulang dari surau.
“berangkat kerja”
“pagi-pagi buta begini?” tanyaku.
“banyak urusan yang harus kuselesaikan”, sahutmu sambil sibuk merapikan baju.
“oiya, kemarin malam temanku melihat Akbar berkumpul dengan para penjudi”, aku teringat.
“temanmu tak melihat aku juga?” kau bertanya.
“apa? Berarti kau juga disana?” aku terkejut.
“iya”
“ kau ikut berjudi?” tanyaku.
“ bukan urusanmu. Sudahlah, aku harus berangkat”, dia keluar dan juga menyuruhku keluar.
“hei, ada apa dengan wajahmu?”, aku baru sadar melihat wajahmu yang penuh memar-memar.
“tak apa”, kau melambaikan tangan sambil berlalu.

Episode 6
Diam-diam aku membuntutimu. Aku merasa sangat penasaran dengan apa yang akan kau lakukan pagi-pagi begini. Disimpang jalan, kulihat sudah ada seseorang yang menunggumu, kau sempat berbincang sejenak dengannya. Orang itu memberikan kantong plastik hitam besar padamu. Lalu kau melanjutkan perjalanan lagi, sedangkan orang itu berjalan berlawanan denganmu. Aku bersembunyi agar tidak berpapasan dengan orang itu. Ternyata orang tersebut adalah Akbar. Apalagi yang akan kau lakukkan dengannya? Aku semakin penasaran.
Kau berjalan kearah kantormu, namun ditengah jalan kau berhenti. Kau berbelok, melewati lahan kosong dan rumput-rumput liar. Aku masih belum menyerah mengikutimu walaupun disana-sini berterbangan nyamuk-nyamuk yang tidak terima karena daerah kekuasaannya kujajaki.

Episode 7
Hampir satu jam aku membuntutimu, kini hari sudah mulai terang. Semakin susah untukku mengikuti tanpa terlihat olehmu. Kuputuskan untuk lebih menjauh agar kau tidak curiga.
Akhirnya kau berhenti juga. Tak disangka, kau berhenti di tumpukan sampah yang menjulang tinggi. Ya… tempat pembuangan akhir sampah yang ada dikotaku. Disana penuh sapi, kambing, pemulung dan anak-anak gembel yang bermain-main dengan sampah. Aku menyeringai jijik. Bisa-bisanya mereka menggunakan tempat pembuangan sampah seperti itu menjadi arena bermain.
Kuamati mereka satu persatu. Ada yang duduk termenung, ada yang lempar-lemparan bantal bekas sambil cekikikan memperlihatkan gigi kuning mereka yang pasti jarang dibersihkan. Ada pula yang mencari barang-barang yang masih bernilai dan berharga, tetapi bagiku, seberharganya barang yang mereka dapat, itu tetaplah sampah.
Aku semakin menyeringai jijik. Bau sampah sangat menyengat, padahal aku berjarak lumayan jauh dari sana. Kugunakan ujung bajuku untuk menutupi hidung. Aku merasa mual melihat mereka diantara tumpukan sampah. Sedekil-dekilnya diriku, ternyata masih ada yang jauh lebih dekil.

Episode 8
Pandanganku kembali tertuju padamu, tak terlihat kau merasa terganggu oleh bau sampah itu. Kau tampak berjalan santai dan penuh senyum, mimik wajahmu malah tampak merona bahagia diantara luka lebam yang kini tampak jelas terpapar sorot matahari pagi.
Salah satu dari mereka menyadari kehadiranmu dan langsung berteriak memanggil namamu. Yang lain menyusul dan langsung berlari menghampirimu, mereka tertawa bahagia dan kau juga semakin tampak bahagia.
Kuliht kau meraih anak perempuan yang terkecil disana, langsung kau gendong dan kau ajak bercanda. Bungkusan hitam besar yang tadi kau bawa itu, kau serahkan pada salah satu anak yang ada disana, mereka saling berebut.
Ternyata itu bungkusan makanan, dan langsung mereka makan tanpa basa-basi. Aku masih terdiam menonton dari kejauhan. Tersenyum kagum padamu dan menyeringai jijik melihat mereka yang menikmati makanannya ditengah tumpukan sampah.

Episode 9
Kau mengambil satu bungkus makanan yang ada dikantong plastik itu, membukanya, dan ikut makan bersama mereka. Ya ampun, aku tak tahan melihatnya. Masih wajar mereka makan ditempat pembuangan sampah seperti itu, karena memang mereka hidup disana. Tapi lihatlah kau, bisakah kau menunda makanmu nanti ditempat kerjamu? Atau puasa saja sekalian.
Kutahan rasa jijikku yang menjadi rasa mual. Aku semakin penasaran dengan apa saja yang kau lakukkan selain mengaji dan bekerja.
Kau melihat jam tangan dilengan kirimu dan bergegas menyelesaikan makan. Lalu kau berdiri, kukira ini akan segera berakhir dan kau lekas meninggalkan tempat itu. Namun kau merogoh kantong celanamu, mengeluarkan dompet, membukanya dan membagikan mereka satu-persatu uang kertas dari dalam dompetmu.
Mereka berkerumun seperti anak-anak kucing kelaparan yang melihat induknya siap menyusui. Setelah mendapatkan uang yang dibagikanmu, mereka berhamburan pergi sambil mengibarkan uang itu. Entah kemana mereka berlari, mungkin kembali kerumah mereka masing-masing atau menjajankannya diwarung.
Kau kembali melihat jam tangan dilengan kirimu dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Setelah merasa aman, aku keluar dari tempat persembunyianku. Bergeges pula meninggalkan tempat kumuh itu. Mungkin pagi ini aku tak akan sarapan, mungkin siangnya juga, atau mungkin seharian ini aku tak akan makan.
Sekarang aku tahu metode baru mengurangi napsu makan, yaitu dengan melihat orang makan ditempat pembuangan sampah seperti kau.
Episode 10
Aku menyusuri tempat yang tadi kulewati lagi. Nyamuk-nyamuk yang tadi menggangguku sudah tak lagi kuhiraukan. Aku ingin cepat pulang dan langsung mandi lagi agar bau sampah itu cepat hilang. Puh… bau itu masih saja menempel di hidungku. Mau-maunya kau berkeliaran disana.
Malamnya aku tak melihat kau pulang, tak terdengar pula suaramu maupun suara dari Akbar yang mengaji lewat pengeras suara disurau. Asing sekali rasanya telingaku jika tidak mendengarkan kau mengaji seperti malam ini. Tapi bukan berarti aku suka mendengarkan orang mengaji, hanya asing saja jika malam-malam begini tidak ada yang memberisikiku. Kota rasanya sepi, hanya terdengar suara deru motor dan mobil berseliweran di jalan gang yang sempit.
Paginya, sepagi hari kemarin kuketuk pintu kontrakanmu. Berkali-kali, berulang-ulang namun tak ada sahutan. Aku mencoba bersabar, duduk-duduk santai saja diteras kontrakanmu. Sampai siang, tak ada tanda-tanda kau ada di dalam. Kutarik kesimpulan, kau tak pulang hmm….
Malamnya kucoba lagi, masih sama. Pagi lagi, kucoba lagi menemuimu, masih sama. Hingga pagi pagi berikutnya. Tak ada, tak nampak. Kau menghilang, meninggalkan banyak rasa penasaran dibenakku.
Episode 11
Sampai seminggu dan berlalu hingga sebulan. Tak ada tanda kau kembali ke kontrakan sempitmu yang pengap itu. “mungkin kau sudah punya rumah yang besar dan tak lagi tinggal dikontrakan sempit itu.” pikirku.
Akhir-akhir ini, baru kurasakan sepi dan rasanya kehilangan. Kehilangan tetangga yang sering menunjukkan kejelekanku agar aku sadar, tapi yah namanya orang bebal, susah bagiku untuk berubah. Kehilangan pula nasehat-nasehatnya yang lebih sering membuatku sebal karena kata-katanya yang jujur namun menusuk. Atau tak hanya kehilangan sosok tetangga? Kurasa perasaan ini lebih dalam dari itu. Entahlah, nyatanya kau sudah pergi. Masihkan ada kesempatan untukku berjumpa kau lagi?
Episode 12
Hingga suatu malam, saat aku tiduran ditemani suara Akbar mengaji disurau yang sering kubayangkan menjadi suaramu. Aku baru tersadar, bodohnya aku, kenapa tidak kutanyakan saja pada Akbar? Pastinya Akbar tahu tentangmu.
Aku bergegas beranjak, tak lupa kukenakan mukena agar lebih meyakinkan. Lalu berjalan menuju surau dan duduk-duduk diteras surau sambil menunggu Akbar selesai mengaji. Selesai Akbar mengaji, tak kusia-siakan kesempatan ini.
Aku menyapanya dengan muka yang manis semanis-manisnya. Akbar sangat santun dan ramah. Langsung kuperkenalkan bahwa aku temanmu,dan dia mengerti apa yang ingin kutanyakan tentangmu.
“saya tidak tahu dia pindah kemana mbak. Dia hanya berpesan untuk terus melanjutkan apa yang sudah kami rencanakan.”katanya diakhiri tersenyum.
Aku sempat kecewa, dan terus mendesaknya untuk mengatakan dimana kau berada. Tapi tetap saja, jawabanya sama. “tidak tahu”
“oiya, dia sempat menceritakan tentang tetangganya yang menyebalkan. Dan itu ternyata mbak ya?” dia tersenyum lebar. Aku melotot.
Episode 13
“kau mau kemana bar?”, tanyaku melihat Akbar beranjak.
“Saya mau melanjutkan rencana kami”, katanya menjelaskan rencanamu dengan Akbar.
“rencana apa? Malam-malam begini.”
“mbak tahu kan di pinggir jalan sana banyak orang berjudi?”tanyanya.
“oh jadi rencana kalian itu menang judi?”
“bukan mbak, uang yang didapat untuk berjudi orang-orang itu dari merampas para anak gelandangan dan anak miskin yang tinggal disekitar TPA kota kita ini. Kasihan sekali anak-anak itu selalu diperas”, jelasnya.
“jadi waktu itu kalian ada disana bukan untuk berjudi?”, tanyaku kagum lalu teringat saat aku membuntutimu ke TPA itu.
“bukan mbak, waktu itu kami berusaha menasehati mereka. Tetapi mereka malah mengeroyok kami”, dia tersenyum padahal itu cerita miris.
Aku melongo teringat luka lebammu waktu itu.
“aku ikut”, kataku tegas.
“jangan mbak, terlalu berbahaya”, dia menolak dengan sopan. “lebih baik sekarang mbak saya antar pulang. Sekalian arah jalan ketempat itu kan sama”.
Aku kesal karena tidak diijinkan,tetapi benar juga kata Akbar. Terlalu berbahaya.
“oiya mbak, mbak terlihat cantik saat memakai mukena seperti ini. Apalagi jika untuk benar-benar sholat.” Akbar tersenyum lagi, entah itu suatu pujian atau sindiran.
Episode 14
Sejak malam itu aku semakin penasaran tentangmu. Walaupun aku tidak mendapatkan informasi dimana keberadaanmu, namun aku ingin tahu apa saja yang tidak kutahu tentang dirimu. Aku semakin dekat dengan Akbar, dia mengajariku mengaji. Dan rajin mengajakku berkunjung ketempat pembuangan sampah untuk menggantikanmu mengunjungi mereka. Awalnya aku menolak diajak ketempat menjijikan itu yang membuatku tidak nafsu makan selama seminggu. Selama seminggu itu aku hanya makan sesuap-sesuap saja karena masih merasa mual membayangkanmu sewaktu makan disana.
“ayolah mbak, kalau tidak kita, siapa lagi yang akan memperhatikan mereka?” kata Akbar waktu itu. Akhirnya aku mau sambil mengenakan penutup hidung agar tidak terlalu mual memcium bau busuk gunungan sampah.
“mbak tahu tidak, setiap bulan dia selalu mentransferkan uang padaku untuk dibagikan kepada anak-anak itu”, Akbar membuka obrolan saat kami berada di TPA memperhatikan anak-anak itu bermain.
“yang benar saja? Tapi pernahkah dia memberi tahu kabarnya kepadamu?” tanyaku tertarik.
“tidak mbak. Mungkin dia baik-baik saja, buktinya dia bisa memberikan rezeki untuk anak-anak ini.”
Aku terdian, benar juga kata Akbar. Semoga kau memang baik-baik saja disana.
Waktu berlalu, semakin rajin aku berkunjung kesana, bau sampah sudah tak mempan lagi dihidungku. Aku sudah terbiasa dengan bau seperti itu sekarang. Semakin rajin pula aku mengaji disurau. Kini aku seperti kau, menjadi anak sampah dan anak surau.
Episode 15
Kadang aku mengunjungi anak-anak di TPA itu sendirian jika Akbar tidak dapat kesana. Aku sudah akrab dengan mereka, biasanya tiga kali dalam seminggu aku mengumpulkan mereka untuk kuajari cara membaca dan berhitung bersama-sama.
Satu tahun, dua tahun dan bertahun-tahun berlalu sangat cepat dengan kegiatan mengasyikanku ini, namun sehari berlangsung sangat lama saat aku mengingatmu. Walaupun sudah ada Akbar yang menemaniku, aku tetap merasakan rindu yang berlarut-larut jika teringat kau. Namun aku harus realistis, disini yang ada Akbar, bukan kau.
Pagi hari seperti pagi-pagi biasanya, aku bersama Akbar berkunjung kesana membawa sekantong besar berisi makanan untuk anak-anak itu. Aku bersama Akbar duduk mengamati mereka yang sangat lahap memakan makanan yang kami bawa.
“Ehem ….” Seseorang berdehem dibelakang kami. Sejurus kami langsung menoleh.
Kulihat sosok yang selama ini menghilang, kau… ya kau tersenyum lebar menatap kami.
Episode 16
Akbar tampak sumringah melihat kau, seperti melihat saudaranya selamat dari medan perang. Kalian langsung berpelukan sambil tertawa riang bersama-sama.
“hei..” kau tersenyum menyapaku. Pertama kali ini aku melihatmu ramah kepadaku.
“hei juga” aku membalas sapaanmu malu-malu.
“sudah terbiasa? Tidak jijik lagi kan?”bartahun-tahun menghilang, kini kau sangat berubah. Kau menjadi lebih ramah.
“tidak. Ternyata sangat menyenangkan.” Aku tersenyum lebar.
Kami bertiga meninggalkan tempat itu bersama-sama. Aku lebih banyak diam mendengarkan kalian bercakap.
Malam hari aku pergi ke surau lagi, disana kau bersama Akbar sedang duduk bersama. Akbar mengajakku untuk bergabung. Dengan senang hati aku mengiyakan.
Pulang dari surau kau menawarkan diri untuk mengantarku. Aku melirik ke arah Akbar, Akbar membolehkan, karena biasanya Akbar yang mengantarkanku.
“kau banyak berubah yah, lebih anggun saja.” Kau mulai membuka percakapan.
“kau juga, lebih ramah.” Mukaku memerah, untung jalan pulang tidak terlalu terang, sedikit menyembunyikan rasa maluku.
“ kamu tahu, hidupku selalu kesepian.”
“salah sendiri, sudah tua begitu tak kunjung menikah. Punya pacarpun tidak.”
“ini yang membuatku kesepian” kau meraih tanganku. “kamu… bertahun-tahun tak ada kicauanmu yang mengganggu, aku serasa tuli.”
Aku bingung menaggapinya, “lalu kenapa kau pergi?”
“ada pekerjaan dari perusahaan yang memaksaku meninggalkan tempat ini.” Kau diam, aku diam. “aku mencintaimu”
Episode 17
Kami saling menatap, perlahan-lahan kau mendekatiku. Mencium bibirku dengan lembut, aku sedikit membalasnya, namun aku tersadar, dan segera melepas ciumanmu.
“aku mencintaimu’’ kau mengulangnya lagi.
“sejak kapan?”
“sejak dulu. Aku lebih memilih tinggal dikontrakan sempit itu karena itu tempat terdekat dari tempatmu. Dari jendela, aku bisa mengamatimu. Mukamu yang berantakan saat bangun tidur, keluhanmu yang selalu menyalahkan dunia dan ocehanmu saat mengomentariku
“aku… aku..” aku terdiam, tak kulanjutkan kata-kataku.
“kau itu lugu, kau itu apa adanya. Itu yang membuatku tertarik. Tetapi aku tak terlalu yakin kau juga merasakan hal yang sama sepertiku” kau terdiam, tertunduk.
“kau salah, aku juga merasakannya.”kataku melemah.
“jadi?...”
“tidaakkk”, aku bisa melihat matamu yang berbinar lalu meredup walaupun diremangnya jalan.
“mengapa?”kau kecewa.
“kau terlalu lama pergi, aku tak yakin kau akan kembali lagi. Apalagi kau juga tidak memberitahuku tentang perasaanmu.”
“tetapi sekarang kau sudah tahu.” Sangkalmu.
“itu kesalahanmu, kau baru memberitahuku sekarang. Sedangkan yang kubutuhkan itu sejak dulu.” Jelasku.
“lalu?” kau bertanya sangat pelan.
Episode 18
“aku putus asa menunggumu”, aku diam sejenak. Kuremas jari-jariku lalu kuulurkan kepadamu. Kuperlihatkan cincin yang melingkar dijari manisku. “aku sudah bertunangan dengan Akbar”
Kau tampak kaget, namun kau mencoba menyembunyikannya. Kau tersenyum,
“selamat ya. Pilihanmu tidak salah. Paling tidak aku tak akan khawatir lagi karenamu. Akbar
laki-laki yang baik. Dia pasti bisa menjagamu.”
Kami saling menatap, menutupi luka kerinduan yang berujung kesia-siaan. Setengah perjalanan kami lanjutkan dengan diam dan saling berbicara dengan diri sendiri.
Sejak malam itu, kau tak pernah lagi muncul. Seperti dulu, tanpa penjelasan. Akbar mencarimu dan bertanya padaku, aku hanya bilang tidak tahu.
Aku dan kau, kembali berjalan sendiri-sendiri. Aku bersama anak gelandangan disini, juga bersama Akbar yang selalu mendampingiku. Dan KAU? Apa yang kau lakukkan disitu? Apa yang kau kerjakan disitu? Sudah menemukan jodohkah kau disitu? Kuharap iya…
‪#‎selesai#