Dapatkan widget animasi ini !

Sunday, October 19, 2014

Nenek Penentang Seragam



Nenek Penentang Seragam
Mendung surut, menampakkan matahari yang tak asing lagi bagi para penggaruk laut. Bulir pasir menari tergelitik anggunnya hembusan angin. Wajah ombak bersemu menyambut tawa ceria anak-anak pedukuhan pasir putih. Bertelanjang kaki, pakaian kuning yang pada mulanya putih, celana dan rok merah memudar. Berlari adu cepat mencapai garis pantai.
“ Hei...!!!!!!! STOP.!! “ , teriakkan kencang membahana membuat siapa saja yang mendengarnya kalang kabut mencari sumber suara. Tapi tidak bagi anak-anak itu, mereka tahu pasti siapa yang berteriak. Anak-anak itu seperti diberi aba-aba, berbelok menjauhi sumber suara dan mempercepat lari. Salah satu dari mereka malah terpaku seperti dipasung.
“ Heh, kau itu apa-apaan berlari disini? Pakai pakaian seperti itu pula.. sini-sini.! Cepat buka, aku sebal melihatnya..!!”, suara itu kembali menyambung. Beruntung, salah satu dari anak yang berlari tadi menyadari bahwa teman mereka hilang satu. Mereka kembali dan menarik anak tadi, lalu bersembunyi dibalik karang.
“ Eh, kau tahu siapa nenek-nenek tadi?” tanya anak lelaki berambut ikal yang bernama Karu.
Yang ditanya hanya menggeleng sambil mengatur napas.
“ Dia itu orang gini nih “, sambung teman lain bernama Marun sambil menyilangkan telunjuk yang dimiringkan di dahinya sendiri. “Dia sering mengejar anak-anak yang memakai seragam sekolah” , katanya dengan lagak sok tahu.
“ Aku sangat takut padanya”, kata teman perempuan yang bernama Sri, dia memang anak penakut. Tanpa ditakut-takutipun dia pasti takut. Berjalan sendiri disore hari saja dia selalu minta ditemani. Apalagi dengan nenek-nenek tadi.
“Memangnya kenapa?”, tanya anak yang tadi terpaku.
“ Dengarkan yah Ita. Dia itu gila, dia itu tak suka sama warna merah. Dia selalu mengejar anak-anak yang memakai seragam yang bermain disini. Mungkin dia titisan Nyi Roro Kidul. Bedanya Nyi Roro Kidul tak suka warna hijau, bukan merah. Dan..... Nyi Roro Kidul itu cantik. Kalau dia ?????? “
“hahahahaaaa .... “  mereka serempak tertawa.
“ ayolah pulang saja, sudah tambah sore nih. Nanti dicari emak lagi. Kemarin aku dijewer tahu gara-gara ketahuan pulang sekolah malah main..!!” kata Sri sambil bernostalgia mengelus telinganya.
“ Yuk ... “ kata Ita menyetujui.
“ nanti sajalah, adu lari sekaliiii saja laah .. “ rengek Marun.
“ Balap lari ke rumah sendiri-sendiri “ , teriak Sri sambil berlari menggandeng Ita.
“Sri, jalanmu jangan cepat-cepat dong”, pinta Ita terseok-seok mengimbangi langkah Sri yang berjalan seperti tentara.
“ayolah kawan.! Kau itu jalan seperti orang kena bisul. Cepat dikit lah.! Aku bisa kram kalau jalan kayak siput gitu. Kalau tidak, nanti kutinggal kau.”
“huh…” , dengus Ita menuruti langkah Sri karena takut tertinggal , mengingat ia anak baru dan belum hafal jalan pulang.
“Sri…”
“apa lagi Ita?”, Tanya Sri menengok ke Ita yang tertinggal dibelakang.
“aku mendengar sesuatu,” kata Ita berlari kecil menyusul.
“Halah, sudahlah… ayo cepat pulang. Emakku nanti keburu pulang duluan dari ladang.” Sri agak kesal.
“Kita lihat dulu lah Sri..”
“ Tau lah.!! Kau lihat saja sendiri.! Aku mau pulang. Tak mau lah aku dijewer lagi, sakitnya sampai ke ubun-ubun.” Kata Sri melanjutkan jalannya dan meninggalkan Ita.
Ita semakin memasang telinga dan mencari sumber suara. Didekatinya semak-semak yang tak jauh dari jalan setapak tersebut. Suara itu semakin jelas terdengar, ia mencari ruang-ruang senggang diantara rimbunnya semak. Dilihatnya seorang nenek menangis sambil meremas-remas gundukan pasir didepannya. Samar-samar ia mendengar nenek itu terisak sambil berkata “Marni… Marni… Anakku”
Ita semakin penasaran, ia berusaha lebih jelas mengamati nenek tersebut. Ia berjalan kesamping agar bisa melihat siapa nenek itu. Nenek itu tersadar ada seseorang selain dia disana. “siapa disana? ,” nenek itu berdiri.
Ita terperanjat kaget karena ketahuan dan kaget karena ternyata nenek itu adalah nenek gila yang diceritakan teman-temannya tadi. Ia berbalik arah dan berusaha secepatnnya lari menjauhi nenek gila itu. Diujung jalan, ia melihat Sri sedang duduk dipinggir jalan setapak.
“loh Sri? , kau masih disini?” , Tanya Ita ngos-ngosan.
“lah iya lah. Aku tahu kau belum hapal jalan pulang. Nanti kalau kau nyasar, aku yang disalahkan. Ayo cepat pulang,” kata Sri langsung berjalan tanpa memperdulikan Ita yang masih mengatur napas.
“Sri, ternyata suara yang kudengar tadi itu, suara nenek gila yang tadi dipantai”, kata Ita membarengi langkah Sri.
“lalu?”, Sri masih tak perduli.
“dia menagis sambil menggaruk-garuk pasir”
“lah wajar lah, namanya saja orang gila”, kata Sri yang masih saja cuek.
“tapi dia sambil menyebut-nyebut nama seseorang.” Lanjut Ita.
“biarkan sajalah, jangan-jangan kau mulai ikut gila seperti dia.”
Ita terdiam sambil memikirkan apa yang baru saja ia lihat. Ia bertanya-tanya mengapa nenek gila itu bisa menangis.



Angin sepoi-sepoi menyamarkan hawa panas, menggiring mendung yang kian menipis. Semakin jauh angin berhembus, semakin menyebar isu tentang nenek gila itu. Nenek yang selalu terlihat sangar jika melihat anak-anak SD bermain dipesisir pantai dengan mengenakan seragam merah-putihnya.
Sepulang sekolah, keempat anak itu kembali bermain dipinggir pantai. Hari ini waktu mereka bermain agak panjang karena sekolah dibubarkan lebih awal. Mereka kembali beradu lari mencapai garis pantai.
“ hei , kayaknya kurang asik kalau dari kemarin hanya adu lari,” kata Marun.
“lalu?” , Tanya Karu penasaran.
“bagaimana kalau berlomba mencari kerang.?”, tantang Marun.
“siapa takut, kalau untuk mencari kerang sih kecil. Aku biasa membantu ayahku.” Kata Karu enteng.
“aku juga berani, bagaimana denganmu Ita?,” Sri menengok kepada Ita yang sejak tadi hanya diam.
“aku tak tahu caranya , tapi apa salahnya mencoba .” Ita nyengir.
“oke , ayo mulai sekarang.” Teriak Marun.
“ayo….!!!!”, yang lain serempak menjawab.
Cuaca tidak terlalu mendung maupun panas, membuat mereka semakin asik mencari kerang. Hanya dalam sekejap saja, Marun sudah mendapat setumpuk kerang. Karu malah lebih banyak, sedari tadi ia sibuk bolak-balik untuk mengumpulkan kerang dipinggir pantai. Sri mengumpulkan kerang yang ia tampung diatas rok sekolahnya, kerangnya tak jauh banyak dibanding milik Marun. Melihat hal itu, Ita semakin kalang kabut mencari kerang. Sedari tadi tak satupun kerang yang ia dapat. Kais sana-sini, tak dapat. Pindah lagi, kais sana-sini, tak dapat lagi.
Ita semakin jauh ke tengah pantai, ia tak sadar bahwa ia menuju ketempat yang dalam. Ita kaget saat menyadari kakinya tak bisa menapak lagi di pasir. Ia tak bisa berenang, ia berusaha berteriak memanggil teman-temannya. Tetapi suaranya ditelan deburan ombak. Ia tetap mencoba berteriak mencari pertolongan,
“siapa saja, tolong aku…. “ Ita mulai putus asa, tak tahu apa yang harus dilakukan. Matanya pedih terkena air laut, perutnya kembung memimun banyak air. Ia semakin pasrah, menunggu ada orang yang menolongnya atau malaikat yang akan mengangkatnya.
Kesadarannya semakin berkurang, ia merasakan ada tangan kaku menarik tubuhnya keatas. Tetapi ia tak tahu siapa itu, ia hanya pasrah tubuhnya akan kemana.
Ita merasakan ada yang mengangkat tubuhnya keatas pasir.
“anakku, Marni anakku…” Sayup-sayup ia mendengar tangis nenek gila itu lagi, seperti saat disemak-semak kemarin.
“jangan nakal-nakal lagi. Pulang sekolah langsung pulang anakku. Jangan mampir kepantai. Aku tak mau kau tenggelam lagi anakku. “ lirih-lirih ia mendengar suara itu lagi. Setelah itu ia tak merasakan apa-apa lagi.

Ita tersadar, ia melihat ke sekeliling tempat ia berbaring. Ternyata sudah berada didalam kamarnya. Pintu terbuka, ia melihat ibunya masuk.
“kamu kan tak bisa berenang nak, jangan sekali-kali lagi bermain ketengah pantai”, kata ibunya. Ita hanya diam daan masih memikirkan apa yang tadi terjadi padanya.

Keesokan harinya Ita berangkat seperti biasa bersama ketiga temannya.
“Kalian tahu siapa yang menolongku?” Tanya Ita.
“kami tak tahu. Kami hanya sadar kau tak ada bersama kami. Kami cari-cari kau, ternyata kau pingsan dipinggir pantai.”, jelas Marun.
“aku takut kau mati, aku sudah sesungukan. Tapi untunglah kau selamat kawan” , kata Sri.
“ kami jadi dilarang mengajakmu bermain ke pantai lagi. Menyebalkan sekali.” Kata Karu.
“tapi aku ingin kesana lagi. Aku janji hanya akan bermain dipinggir pantai saja”, Ita memelas.
“setuju, “ teriak ketiga temannya kompak.
 Sepulang sekolah mereka bermain dipantai lagi. Ita hanya duduk dipinggir pantai, ia tak memperdulikan teman-temannya yang asyik bermain. Tujuannya kepantai hanya satu , ingin menemui nenek itu. Ita yakin yang menolongnya adalah nenek itu. Namun yang dicari tak kunjung nampak.
“ayok pulang,” ajakan Sri membuat Ita kaget.
“tunggu sebentar lagi,” kata Ita.
“memangnya kau mau apa? Bukannya sedari tadi kau hanya duduk diam disini , heh?” , Tanya Sri. “ayolah, kau tak mau kan kalau kita ketahuan?”, Sri menarik tangan Ita. Kali ini Ita tak menolak ajakan Sri.
Hari berikutnya Ita kembali ke pantai, berharap bertemu dengan nenek itu lagi. Tetapi percuma, nenek itu tak terlihat.
Hari-hari berikutnya, dan hari berikutnya, tetap sama. Nenek gila itu tetap tak nampak.

000

Mahasiswa Hijab Syar'i dan Dosen Rok Pendek




Mahasiswi Hijab Syar’I dan Dosen Rok Pendek

            Semalam, teman lamaku berkunjung. Pertamanya aku tak mengenali dia, dia banyak berubah. Menurutku perubahan yang aneh, bayangkan saja dikota Semarang yang panasnya sudah melebihi Jakarta ini, dia memakai hijab yang panjangnya selutut, memakai masker pula. Dia malah berniat pula memakai cadar. Ah tak terbayang bagaimana borosnya dia memakai sabun cuci untuk mencuci baju-bajunya yang super itu.
 Kuajak ia masuk kekamar kostku, kuberondong ia dengan pertanyaan-pertanyaan tentang modusnya memakai hijab syar’i. Ia banyak bercerita, dari situ perasaan kagumku muncul padanya. Cobaan-cobaan banyak berdatangan, dia yang dulunya ditaksir banyak mahasiswa, kini satu-persatu mereka mulai menjauhinya. Tapi untung saja tempat kerja paruh waktunya tak mempermasalahkan penampilan barunya itu.
“waktu itu aku terombang-ambing kebimbangan karena mereka menjauhiku, tapi akhirnya aku memutuskan untuk tetap mengenakan hijab syar’i,” tuturnya semalam.
Aku semakin kagum padanya, semoga ia bisa kujadikan contoh untukku kedepan. Aku dulu juga sempat ingin berpenampilan seperti dia, namun setelah dipertimbangkan, besok-besok sajalah memakainya, aku belum siap.
            Paginya aku berangkat kuliah, aku mengambil mata kuliah umun di fakultas Hukum. Berjalan gontai sambil mengantuk, malahan belum mandi. Hanya cucimuka dan berganti baju. Tadinya aku berniat untuk tidak masuk kuliah dan melanjutkan tidur. Tapi teringat waktu itu aku sudah pernah membolos, jadi dengan setengahnya setengah hati aku berangkat. Dosenku kali ini wanita muda. Langkah pertama beliau memasuki ruangan, aku terkagum-kagum dengan penampilannya. Baju merah muda bunga-bunga dengan lengan panjang dan rok selutut berpadu dengan kulitnya yang putih cerah. Sangat cantik.
Kuliah hari ini membahas tentang liberalisme, beliau menjelaskan pula liberalisme disegi agama, “liberalisme moderat” atau liberalism modern di Indonesia. Intinya tak mempermasalahkan wanita-wanita yang beragama islam yang tidak memakai hijab. Aku sangat setuju, karena aku juga seperti itu. Kadang memakai hijab, kadang malah hanya memakai baju mini.
Disela-sela pembahasan tersebut, salah satu mahasiswi mengangkat tangan.
“saya tidak setuju dengan pernyataan tersebut bu. Liberalism dalam agama itu tentang pahamnya, bukan penampilannya. Menurut saya itu sudah menjadi penyimpangan.” Mahasiswi itu berhijab syar’i pula, persis seperti temanku semalam.
Disitu aku labil kembali, benar kata dosenku, tapi temanku juga benar. Agh… aku benar-benar labil.
Biarlah mereka dengan penampilannya, dan aku dengan penampilan plin-planku ini.