Nenek Penentang Seragam
Mendung surut, menampakkan matahari yang
tak asing lagi bagi para penggaruk laut. Bulir pasir menari tergelitik
anggunnya hembusan angin. Wajah ombak bersemu menyambut tawa ceria anak-anak
pedukuhan pasir putih. Bertelanjang kaki, pakaian kuning
yang pada mulanya putih, celana dan rok merah memudar. Berlari adu cepat
mencapai garis pantai.
“
Hei...!!!!!!! STOP.!! “ , teriakkan kencang membahana membuat siapa saja yang
mendengarnya kalang kabut mencari sumber suara. Tapi tidak bagi anak-anak itu,
mereka tahu pasti siapa yang berteriak. Anak-anak itu seperti diberi aba-aba,
berbelok menjauhi sumber suara dan mempercepat lari. Salah satu dari mereka
malah terpaku seperti dipasung.
“
Heh, kau itu apa-apaan berlari disini? Pakai pakaian seperti itu pula.. sini-sini.!
Cepat buka, aku sebal melihatnya..!!”, suara itu kembali menyambung. Beruntung,
salah satu dari anak yang berlari tadi menyadari bahwa teman mereka hilang
satu. Mereka kembali dan menarik anak tadi, lalu bersembunyi dibalik karang.
“
Eh, kau tahu siapa nenek-nenek tadi?” tanya anak lelaki berambut ikal yang
bernama Karu.
Yang
ditanya hanya menggeleng sambil mengatur napas.
“
Dia itu orang gini nih “, sambung teman lain bernama Marun sambil menyilangkan
telunjuk yang dimiringkan di dahinya sendiri. “Dia sering mengejar anak-anak
yang memakai seragam sekolah” , katanya dengan lagak sok tahu.
“
Aku sangat takut padanya”, kata teman perempuan yang bernama Sri, dia memang
anak penakut. Tanpa ditakut-takutipun dia pasti takut. Berjalan sendiri disore
hari saja dia selalu minta ditemani. Apalagi dengan nenek-nenek tadi.
“Memangnya
kenapa?”, tanya anak yang tadi terpaku.
“
Dengarkan yah Ita. Dia itu
gila,
dia itu tak suka sama warna merah. Dia
selalu mengejar anak-anak yang memakai seragam yang bermain disini. Mungkin dia
titisan Nyi Roro Kidul. Bedanya Nyi Roro Kidul tak suka warna hijau, bukan
merah. Dan..... Nyi Roro Kidul itu cantik. Kalau dia ?????? “
“hahahahaaaa
.... “ mereka serempak tertawa.
“
ayolah pulang saja, sudah tambah sore nih. Nanti dicari emak lagi. Kemarin aku
dijewer tahu gara-gara ketahuan pulang sekolah malah main..!!” kata Sri sambil
bernostalgia mengelus telinganya.
“
Yuk ... “ kata Ita menyetujui.
“
nanti sajalah, adu lari sekaliiii saja laah .. “
rengek Marun.
“
Balap lari ke rumah sendiri-sendiri “ , teriak Sri sambil berlari menggandeng
Ita.
“Sri, jalanmu jangan cepat-cepat dong”, pinta Ita
terseok-seok mengimbangi langkah Sri yang berjalan seperti tentara.
“ayolah kawan.! Kau itu jalan seperti orang kena
bisul. Cepat dikit lah.! Aku bisa kram kalau jalan kayak siput gitu. Kalau tidak,
nanti kutinggal kau.”
“huh…” , dengus Ita menuruti langkah Sri karena takut
tertinggal , mengingat ia anak baru dan belum hafal jalan pulang.
“Sri…”
“apa lagi Ita?”, Tanya Sri menengok ke Ita yang tertinggal
dibelakang.
“aku mendengar sesuatu,” kata Ita berlari kecil menyusul.
“Halah, sudahlah… ayo cepat pulang. Emakku nanti
keburu pulang duluan dari ladang.” Sri agak kesal.
“Kita lihat dulu lah Sri..”
“ Tau lah.!! Kau lihat saja sendiri.! Aku mau pulang.
Tak mau lah aku dijewer lagi, sakitnya sampai ke ubun-ubun.” Kata Sri
melanjutkan jalannya dan meninggalkan Ita.
Ita semakin memasang telinga dan mencari sumber suara.
Didekatinya semak-semak yang tak jauh dari jalan setapak tersebut. Suara itu
semakin jelas terdengar, ia mencari ruang-ruang senggang diantara rimbunnya
semak. Dilihatnya seorang nenek menangis sambil meremas-remas gundukan pasir
didepannya. Samar-samar ia mendengar nenek itu terisak sambil berkata “Marni…
Marni… Anakku”
Ita semakin penasaran, ia berusaha lebih jelas
mengamati nenek tersebut. Ia berjalan kesamping agar bisa melihat siapa nenek
itu. Nenek itu tersadar ada seseorang selain dia disana. “siapa disana? ,”
nenek itu berdiri.
Ita terperanjat kaget karena ketahuan dan kaget karena
ternyata nenek itu adalah nenek gila yang diceritakan teman-temannya tadi. Ia
berbalik arah dan berusaha secepatnnya lari menjauhi nenek gila itu. Diujung
jalan, ia melihat Sri sedang duduk dipinggir jalan setapak.
“loh Sri? , kau masih disini?” , Tanya Ita
ngos-ngosan.
“lah iya lah. Aku tahu kau belum hapal jalan pulang.
Nanti kalau kau nyasar, aku yang disalahkan. Ayo cepat pulang,” kata Sri
langsung berjalan tanpa memperdulikan Ita yang masih mengatur napas.
“Sri, ternyata suara yang kudengar tadi itu, suara
nenek gila yang tadi dipantai”, kata Ita membarengi langkah Sri.
“lalu?”, Sri masih tak perduli.
“dia menagis sambil menggaruk-garuk pasir”
“lah wajar lah, namanya saja orang gila”, kata Sri
yang masih saja cuek.
“tapi dia sambil menyebut-nyebut nama seseorang.”
Lanjut Ita.
“biarkan sajalah, jangan-jangan kau mulai ikut gila
seperti dia.”
Ita terdiam sambil memikirkan apa yang baru saja ia
lihat. Ia bertanya-tanya mengapa nenek gila itu bisa menangis.
Angin sepoi-sepoi menyamarkan hawa panas, menggiring
mendung yang kian menipis. Semakin jauh angin berhembus, semakin menyebar isu
tentang nenek gila itu. Nenek yang selalu terlihat sangar jika melihat
anak-anak SD bermain dipesisir pantai dengan mengenakan seragam merah-putihnya.
Sepulang sekolah, keempat anak itu kembali bermain dipinggir
pantai. Hari ini waktu mereka bermain agak panjang karena sekolah dibubarkan
lebih awal. Mereka kembali beradu lari mencapai garis pantai.
“ hei , kayaknya kurang asik kalau dari kemarin hanya
adu lari,” kata Marun.
“lalu?” , Tanya Karu penasaran.
“bagaimana kalau berlomba mencari kerang.?”, tantang
Marun.
“siapa takut, kalau untuk mencari kerang sih kecil.
Aku biasa membantu ayahku.” Kata Karu enteng.
“aku juga berani, bagaimana denganmu Ita?,” Sri menengok
kepada Ita yang sejak tadi hanya diam.
“aku tak tahu caranya , tapi apa salahnya mencoba .”
Ita nyengir.
“oke , ayo mulai sekarang.” Teriak Marun.
“ayo….!!!!”, yang lain serempak menjawab.
Cuaca tidak terlalu mendung maupun panas, membuat
mereka semakin asik mencari kerang. Hanya dalam sekejap saja, Marun sudah
mendapat setumpuk kerang. Karu malah lebih banyak, sedari tadi ia sibuk
bolak-balik untuk mengumpulkan kerang dipinggir pantai. Sri mengumpulkan kerang
yang ia tampung diatas rok sekolahnya, kerangnya tak jauh banyak dibanding
milik Marun. Melihat hal itu, Ita semakin kalang kabut mencari kerang. Sedari
tadi tak satupun kerang yang ia dapat. Kais sana-sini, tak dapat. Pindah lagi,
kais sana-sini, tak dapat lagi.
Ita semakin jauh ke tengah pantai, ia tak sadar bahwa
ia menuju ketempat yang dalam. Ita kaget saat menyadari kakinya tak bisa
menapak lagi di pasir. Ia tak bisa berenang, ia berusaha berteriak memanggil
teman-temannya. Tetapi suaranya ditelan deburan ombak. Ia tetap mencoba
berteriak mencari pertolongan,
“siapa saja, tolong aku…. “ Ita mulai putus asa, tak
tahu apa yang harus dilakukan. Matanya pedih terkena air laut, perutnya kembung
memimun banyak air. Ia semakin pasrah, menunggu ada orang yang menolongnya atau
malaikat yang akan mengangkatnya.
Kesadarannya semakin berkurang, ia merasakan ada
tangan kaku menarik tubuhnya keatas. Tetapi ia tak tahu siapa itu, ia hanya
pasrah tubuhnya akan kemana.
Ita merasakan ada yang mengangkat tubuhnya keatas
pasir.
“anakku, Marni anakku…” Sayup-sayup ia mendengar
tangis nenek gila itu lagi, seperti saat disemak-semak kemarin.
“jangan nakal-nakal lagi. Pulang sekolah langsung
pulang anakku. Jangan mampir kepantai. Aku tak mau kau tenggelam lagi anakku. “
lirih-lirih ia mendengar suara itu lagi. Setelah itu ia tak merasakan apa-apa
lagi.
Ita tersadar, ia melihat ke sekeliling tempat ia
berbaring. Ternyata sudah berada didalam kamarnya. Pintu terbuka, ia melihat
ibunya masuk.
“kamu kan tak bisa berenang nak, jangan sekali-kali
lagi bermain ketengah pantai”, kata ibunya. Ita hanya diam daan masih
memikirkan apa yang tadi terjadi padanya.
Keesokan harinya Ita berangkat seperti biasa bersama
ketiga temannya.
“Kalian tahu siapa yang menolongku?” Tanya Ita.
“kami tak tahu. Kami hanya sadar kau tak ada bersama
kami. Kami cari-cari kau, ternyata kau pingsan dipinggir pantai.”, jelas Marun.
“aku takut kau mati, aku sudah sesungukan. Tapi
untunglah kau selamat kawan” , kata Sri.
“ kami jadi dilarang mengajakmu bermain ke pantai
lagi. Menyebalkan sekali.” Kata Karu.
“tapi aku ingin kesana lagi. Aku janji hanya akan
bermain dipinggir pantai saja”, Ita memelas.
“setuju, “ teriak ketiga temannya kompak.
Sepulang
sekolah mereka bermain dipantai lagi. Ita hanya duduk dipinggir pantai, ia tak
memperdulikan teman-temannya yang asyik bermain. Tujuannya kepantai hanya satu
, ingin menemui nenek itu. Ita yakin yang menolongnya adalah nenek itu. Namun
yang dicari tak kunjung nampak.
“ayok pulang,” ajakan Sri membuat Ita kaget.
“tunggu sebentar lagi,” kata Ita.
“memangnya kau mau apa? Bukannya sedari tadi kau hanya
duduk diam disini , heh?” , Tanya Sri. “ayolah, kau tak mau kan kalau kita
ketahuan?”, Sri menarik tangan Ita. Kali ini Ita tak menolak ajakan Sri.
Hari berikutnya Ita kembali ke pantai, berharap
bertemu dengan nenek itu lagi. Tetapi percuma, nenek itu tak terlihat.
Hari-hari berikutnya, dan hari berikutnya, tetap sama.
Nenek gila itu tetap tak nampak.
000