Namanya Aisyah
Gadis kecil yang sekarang sudah tahun pertama di Sekolah Dasar.
Kami berkenalan sejak dia masih dalam kandungan.
Ya karena kami bertetangga.
Dia masih usia tiga bulan saat itu, saat hal memilukan dan penuh mendung diatas kepala ibunya dan seluruh keluarga besarnya.
Harus berbesar hati menerima kenyataan, bahwa tulang punggung keluarganya meninggal.
Iya, ayah Aisyah meninggal.
Saat Aisyah belum puas mengompoli ayahnya,
Saat Aisyah belum bisa memegang tangan ayahnya untuk bisa dibantu latihan berjalan.
Oh mungkin terlalu dramatis aku bilang 'latihan berjalan'.
Baik Kurevisi,
Saat Aisyah belum bisa dibantu tangan ayahnya untuk latihan tengkurap.
Pikiran berkecamuk di kepala ibunya melihat tubuh suaminya tanpa nyawa ;
Bagaimana bisa meneruskan hidup sedangkan tidak bekerja.
Bagaimana nanti anak pertamanya menikah tanpa disaksikan ayahnya.
Bagaimana membiayai 3 anak lainnya yang masih sekolah.
Bagaimana bisa mencari uang sedangkan anak terakhir (ya Aisyah) masih merah-merahnya.
Ibunya hanya bisa terduduk lemas, sambil disalah-salahkan kakak iparnya atas kepergian adiknya.
Sedangkan Aisyah digendong budhenya,
Saat itu, semua mata menatap nanar si Aisyah bayi tiga bulan.
Penuh rasa kasihan, prihatin, sedih. Tapi tidak membantu.
Sekarang, Aisyah sudah bisa berjalan, sudah bisa memukul teman yang dia rasa tidak cocok dengannya.
Ah gemasnya.
Dia juga terkadang meneleponku dari handphone pemberian kakak keduanya.
Jadi rindu Aisyah
Dan
Rumah
No comments:
Post a Comment